Oleh: Drs. Riduan Siagian, SH, MH, MM. Kurang dari satu tahun,
negara-negara yang tergabung da-lam ASEAN, akan memasuki penerapan perdagangan
bebas di kawasan Asia Tenggara yang dinamai Free Trade Area (AFTA) yang mulai
berlaku tahun 2015. Tujuannya agar bisa meningkatkan daya saing ekonomi kawasan
ASEAN di dunia. Secara umum, banyak peluang keuntungan yang akan didapat
Indonesia saat diberlakukannya AFTA 2015. Salah satunya adalah akan mempermudah
masyarakat Indonesia bekerja di negara-negara ASEAN. Hal ini tentunya dengan
syarat bahwa SDM Indonesia telah ’siap pakai’ sebagai tenaga kerja luar negeri
dengan tingkat keahlian yang memadai. Lalu pertanyaannya, apakah Indonesia
telah siap dalam hal ini? Apakah putera-puteri Indonesia telah siap secara
profesional di bursa kerja ASEAN?
Ketidaksiapan SDM Indonesia
Kalau mau jujur, sebetulnya sudah bukan waktunya lagi
mempertanyakan kesiapan Indonesia menghadapi ASEAN AFTA. Siap atau pun tidak,
kita tak bisa lari dari kenyataan penerapan perdagangan bebas di kawasan Asia
Tenggara mulai 2015.Waktu untuk berbenah tidak banyak, kurang dari setahun.
Namun secara kasat mata kita melihat kelapangan, jawaban dari pertanyaan
tersebut adalah: “Indonesia Tidak Siap!” Mengapa? Karena Indonesia belum
memiliki modal yang menjanjikan agar cukup untuk dikatakan “siap”. Indonesia
masih memiliki banyak “pekerjaan rumah” yang belum sempat diselesaikan, dan hal
ini akan menghambat bahkan justru akan menjatuhkan Indonesia dalam persaingan
global yang kompetitif. Jika ditilik dari kompetensi sumber daya Indonesia,
Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan negara-negara penggagas AFTA
lainnya.
Hal ini dibuktikan berdasarkan indeks kompetensi yang
dikeluarkan oleh World Economic Forum pada tahun 2013, bahwa Indonesia
menempati urutan ke-50 atau lebih rendah dari Singapura (ke-2), Malaysia
(ke-20), dan Thailand (ke-30). Rendahnya kompetensi sumber daya Indonesia
diperoleh dari faktor-faktor yang saling berkaitan seperti: tenaga kerja/ahli
profesi yang tidak memiliki kualifikasi mumpuni; minimnya pelaksanaan
sertifikasi kompetensi; belum sesuainya kurikulum di sekolah menengah dengan
keahlian profesi; serta sumber daya manusia di Indonesia yang sangat berlimpah
namun belum dapat dioptimalkan oleh pemerintah.
Oleh karena itu, Indonesia dikatakan belum siap untuk
menghadapi kuatnya persaingan tenaga kerja AFTA 2015 karena tenaga kerja
Indonesia sendiri tidak akan cukup banyak yang mampu memenuhi standar yang
dibutuhkan. Standar tersebut akan selalu meningkat seiring dengan tingginya
persaingan kemampuan, keterampilan, pengetahuan, maupun kemampuan berbahasa,
antar tenaga kerja negara-negara South-East.
Disamping itu, menurut catatan BPS pada Agustus 2013,
bahwa pengganguran terbuka di Indonesia mencapai 6,25 persen. Angkatan kerja di
Indonesia pada Agustus 2013 mencapai 118,2 juta orang. Dari sumber yang sama
kita dapati bahwa masih ada lebih dari 360 ribu orang sarjana yang menganggur
di negeri kita. Angka yang sangat mencengangkan sekaligus memprihatinkan. Jika
sekarang saja para sarjana sulit mencari kerja, apalagi tamatan SMA, SMP dan
SD, tentunya akan lebih sulit lagi, terlebih menjelang diterapkannya AFTA 2015,
bayang-bayang akan ledakan pengangguran terdidik akan semakin nyata.
Terlebih dengan dibukanya AFTA 2015 bisa dipastikan
banyak tenaga kerja dari luar negeri masuk ke Indonesia. Sementara orang
Indonesia kebanyakan mengirim tenaga kerja keluar negeri bukan sebagai tenaga
ahli, melainkan tenaga kerja seperti pembantu rumah tangga, sopir, dan pekerja
kasar di pabrik-pabrik, perkebunan atau di rumah tangga.
Sedangkan negara lain mengirim tenaga kerja yang
terdidik dan terlatih sehingga dia bekerja pada posisi sebagai manajer atau
tenaga ahli di Indonesia. Dengan diterapkan AFTA 2015, banyaknya tenaga kerja
dari luar negeri yang akan menggeser dan mengisi tenaga kerja dari Indonesia,
dan sudah bisa dipastikan semakin banyak pengangguran di Indonesia. Segenap
rakyat Indonesia yang belum siap /dipersiapkan oleh pemerintahnya untuk
menghadapi AFTA 2015, kemudian hanya akan menjadi ‘korban’ yang semakin
dikalahkan dalam percaturan global antarbangsa.
Pembenahan SDM
Meski AFTA 2015, merupakan ‘buah simalakama’ yang
dipaksakan/dijejalkan ke dalam mulut seluruh rakyat Indonesia dari Sabang
sampai Merauke untuk dimakan. Mau tidak makan juga mati, mau makan juga mati.
Siap tidak siap harus siap. Bagaimana caranya untuk siap, ketika AFTA 2015,
sepertinya masih berupa sebuah euforia bagi pemerintah, baik Pemda dan pusat
yang saat ini sepertinya masih tidur pulas dan kurang tanggap untuk
mempersiapkan masyarakatnya agar menjadi lebih siap dalam berbagai aspek untuk
menghadapi semua tantangan ini untuk dijadikan peluang menjadi lebih sejahtera
dan bermartabat di pentas Asia?
Diwaktu yang semakin sempit ini, ada banyak hal
penting yang bisa membuat Indonesia bisa bertahan, atau bahkan bisa memanfaatkan
AFTA 2015 untuk kemajuan bangsa ini. Tentunya dengan harapan pemerintah
memahami prioritas masalah yang harus diselesaikan dan kekurangan yang perlu
ditingkatkan. Nah, prioritas pemerintah saat ini maupun pemerintah yang
terpilih pasca pilpres 9 Juli 2014 nanti, yaitu memfokuskan perhatian dalam
pembenahan SDM melalui perbaikan pendidikan di Indonesia yang harus mendukung
daya saing dan dayaguna agar lulusan yang dihasilkan bisa bekerja dan bersaing
di perusahaan atau industri tidak hanya di Indonesia tetapi juga negara lain.
Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan kompetensi,
pola pikir adalah aspek penting yang perlu diperhatikan. Pola pikir tenaga
kerja maupun calon tenaga kerja harus mulai disesuaikan dengan tren abad ke-21,
antara lain: pembelajaran yang mendorong manusia untuk mencari tahu dari
berbagai sumber observasi; pembelajaran yang diarahkan untuk mampu merumuskan
masalah, bukan hanya menjawab masalah; pembelajaran yang diarahkan untuk
melatih berfikir analitis dan bukan berfikir mekanistis, serta pembelajaran
yang menekankan pentingnya kerjasama dan kolaborasi dalam menyelesaikan
masalah. Hal ini harus sudah mulai dibentuk sejak memasuki dunia pendidikan
tingkat tinggi seperti SMA dan PerguruanTinggi.
Yang kedua, masalah Usaha Kecil Menengah (UKM) yang
kalah saing dengan industri dari luar negeri maupun dari dalam negeri. Ini
membuat para pelaku UKM di Indonesia merasa terancam. Maka dalam hal ini,
pemerintah harus turun tangan membantu. Pemerintah bisa membantu dengan bekerja
sama dengan pihak perbankan untuk memberikan kredit usaha bagi pengusaha UKM.
Yang terakhir, Pemerintah harus menerapkan aturan agar kepentingan warga dan
kepentingan dari luar negeri tidak bersinggungan yang menyebabkan terjadinya
masalah atau benturan di kemudian hari.
Akhirnya, penerapan perdagangan bebas di kawasan Asia
Tenggara mulai 2015, sudah didepan mata. Siap ataupun tidak, kita tak bisa lari
dari kenyataan.
Maka di waktu yang semakin sempit ini, marilah bekerja
keras menyiapkan diri untuk menjadi pemenang dalam percaturan di kawasan Asia
Tenggara.***
Sumber: http://analisadaily.com/news/read/afta-2015-dan-ketidaksiapan-sdm-indonesia/53995/2014/08/12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar