Revolusi memakan anaknya
sendiri. Revolusi akan melahirkan revolusi. Ketika Mao Tse-tung (Mao Ze-dong)
mencetuskan revolusi kebudayaan, banyak penentangan dan protes terjadi.
Puncaknya adalah ketika 4 Juni 1989 meledak peristiwa yang sering kita dengar
sebagai tragedi Lapangan Tiananmen. Awalnya gerakan itu bertujuan untuk memberi
penghormatan pada mantan Ketua Partai Komunis Cina, Hu Yaobang. Dalam hitungan
hari, aksi itu membesar dan dengan cepat berubah menjadi aksi protes korupsi
kepada pemerintah. Para pemrotes menuntut sistem yang lebih terbuka. Imbauan
pemerintah untuk membubarkan diri tidak diindahkan. Hingga akhirnya massa yang
menduduki Lapangan Tiananmen diberondong senapan, digilas tank, dan ratusan
hingga ribu orang tewas.
Mereka yang terlibat
dalam aksi itu ada yang bertahun-tahun dipenjara, ada pula yang diasingkan.
Tapi dari aktivis-aktivis mahasiswa waktu itu ada yang sekarang justru berbalik
menjadi orang-orang pragmatis dan oportunis. Semisal Xiao Jianhua yang kini
menjadi milyuner Cina. Ia tinggal di Hongkong. Kerajaan bisnisnya membentang di
sektor perbankan, asuransi, batubara, semen, properti, yang dikontrol oleh
perusahaan induknya Tomorrow Group. Koneksi politiknya sangat kuat. Salah satu
perusahaannya menginvestasikan USD 2,4 Juta di perusahaan investasi yang
dikendalikan oleh ipar presiden Cina, Xi Jinping. Dia juga membantu perusahaan
yang dikendalikan menantu Jia Qinglin, mantan anggota Politbiro Standing
Committee.
Xiao Jianhua bersinar
justru setelah diberangusnya aksi demo mahasiswa. Padahal, seperempat abad
lalu, ia adalah pemimpin organisasi serikat mahasiswa resmi yang diakui
pemerintah. Putra petani miskin kelahiran Feicheng, kawasan pertanian di
pegunungan provinsi Shandong. Namun ia berseberangan dengan aktivis lainnya.
Xiao tidak pernah menentang pemerintah, dan pasca-peristiwa Juni 1989 itu,
namanya tidak masuk dalam daftar orang-orang paling dicari di Cina. Ternyata ia
termasuk di antara orang-orang yang membujuk aktivis mahasiswa yang
berseberangan dengannya untuk meredakan protes sebelum tentara Cina melakukan
aksi pembubaran. Ia mendapatkan imbalan dengan jalan dukungan dana dari Peking
University untuk melangkah ke dunia bisnis.
Ia merintis usaha
memasok komputer hingga terkenal sebagai pemain saham papan atas yang
menginvestasikan uangnya di mana-mana. Ia membangun reputasinya sebagai
pebisnis yang punya koneksi politik kuat ke penguasa Cina, termasuk keluarga
Presiden Xin Jinping. Ia begitu berhati-hati dan tidak ingin berisiko dengan
angin politik yang berubah sewaktu-waktu. Beberapa tahun lalu ia dituding
terlibat dalam privatisasi aset negara di bawah harga pasar. Lantas ia pindah
ke Kanada dan memperoleh kewarganegaraan. Sekarang ia menghabiskan banyak
waktunya di Hongkong, tinggal di Four Seasons Hotel, dan dikelilingi
sejumlah bodyguard. Ia memiliki jet pribadi dan telah membeli
properti bernilai jutaan di USA dan Kanada.
Aktivis bermental
pragmatis dan oportunis adalah orang yang pandai menyelubungi dirinya dengan
berbagai macam topeng. Ketika menjadi aktivis adalah semata untuk melindungi
eksistensi dirinya, atau bahkan sengaja eksis agar mendapat pengakuan dari
sesamanya dalam konteks situasi yang memang tidak ada jalan lain selain menjadi
aktivis. Tapi begitu ada celah kesempatan untuk merengkuh kepentingan dan
ambisi pribadi, maka ia segera menelikung dan menyeberang ke kubu yang
menurutnya bisa menguntungkan dirinya. Tidak jauh berbeda dengan di Indonesia.
Dari peristiwa ke peristiwa, gerakan pemuda/mahasiswa selalu memunculkan tokoh
aktivis tulen dan aktivis oportunis. Sejarah selalu berulang. Era 45, 66 atau
98, aktivis mahasiswa dan tokoh-tokoh gerakan selalu melempem apabila sudah
mendapat posisi yang nyaman.
Dulu angkatan 66 yang
menumbangkan rezim orde lama, juga diam setelah mendapatkan berbagai posisi
penting di era orde baru. Bahkan mendekat ke Cendana dan menjadi kroni-kroni
Soeharto serta turut melanggengkan kekuasaannya. Hal itu sama terulang pada
aktivis 98, ketika mereka duduk di parlemen, dibiayai rakyat, kecipratan dana
proyek sana-sini apa mereka tetap bersuara lantang? Mereka juga menjadi bagian
dari parpol yang tidak ada kerja nyata kepada masyarakat kecuali ketika
menjelang pemilu. Tak heran bila parpol-parpol sekarang ini memang karakternya
oportunis, koalisi tiada henti demi jatah kursi. Berkaca pada 1998. Ada
banyak yang mendompleng reformasi untuk kepentingan sendiri. Setelah peristiwa
itu, banyak orang yang berteriak, “Kamilah Sang Reformator.” So
What!
Idealisme mati karena
gelontoran uang. Ideologi tumbang karena tergiur kursi kekuasaan. Yang ada
hanyalah berkembangnya sifat sebagai manusia oportunis dan pragmatis, sikap
cari aman yang mereka perhalus dengan bahasa teknis strategis. Tidak ada
ideologi politik apapun yang melekat pada diri mereka. Kenapa harus ideologi?
Karena ideologi merupakan pedoman, landasan dari perjuangan yang dirintis
seorang aktivis. Ideologi ini yang kemudian mengasah idealisme di dalam diri
seseorang. Bagaimana seseorang mampu mempertahankan ideologi yang
dianut sehingga bisa menjadi barometer idealisme yang dimilikinya? Yang lebih
sering terjadi adalah orang-orang yang telah menemukan ideologinya malah
menghianati ideologi politik yang telah dipilihnya sendiri.
Dari hal tersebut kita
bisa menelaah, pribadi-pribadi yang telah menganut suatu ideologi saja bisa
menyimpang apalagi yang tidak memiliki ideologi politik. Tanpa ideologi,
perjuangan seseorang seperti kapal yang terombang-ambing di tengah kerasnya
arus lautan. Setelahnya, perjuangan itu menjadi sesuatu yang absurd.
Orang-orang yang tidak memiliki ideologi seperti inilah yang seringkali
dijadikan alat oleh elit politik dan kelompok kepentingan tertentu karena dia
tidak memiliki haluan untuk bergerak. Dia tidak tahu akan dibawa ke mana bagian
kekuasaan yang dimilikinya, sehingga cenderung digunakan untuk kepentingan diri
sendiri dan juga dimanfaatkan oleh golongan tertentu.
Hanya sedikit di antara
sekian banyak aktivis yang mengaku ideologis-idealis yang tetap memegan teguh
apa yang diperjuangkannya dan rela menjalani hidup menentang derasnya godaan.
Sementara para aktivis pragmatis-oportunis yang hanya terfokus pada kepentingan
dirinya sendiri, justru merelakan dan bangga apabila karirnya berujung sebagai
"budak" kantor/penguasa/pengusaha. Diam-diam, atau mungkin
terang-terangan, mereka menunjukkan kegemaran berkubang di lumpur politik.
Mereka menumpuk kekayaan agar bisa plesir ke luar negeri, demi menyekolahkan
anak ke lembaga pendidikan berlabel internasional atau langsung ke negara lain
sekalian, mendapatkan popularitas sebagai pesohor dan tokoh nasional, sering
dipanggil sebagai nara sumber karena dianggap punya branding kualitas
intelektual, tapi mereka hanya sekali lagi menjadi “budak”.
Sumber: http://www.siperubahan.com/read/932/Ketika-Aktivis-Bermental-Pragmatis-Oportunis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar