Senin, 15 Desember 2014

Ketika Aktivis Bermental Pragmatis-Oportunis




Revolusi memakan anaknya sendiri. Revolusi akan melahirkan revolusi. Ketika Mao Tse-tung (Mao Ze-dong) mencetuskan revolusi kebudayaan, banyak penentangan dan protes terjadi. Puncaknya adalah ketika 4 Juni 1989 meledak peristiwa yang sering kita dengar sebagai tragedi Lapangan Tiananmen. Awalnya gerakan itu bertujuan untuk memberi penghormatan pada mantan Ketua Partai Komunis Cina, Hu Yaobang. Dalam hitungan hari, aksi itu membesar dan dengan cepat berubah menjadi aksi protes korupsi kepada pemerintah. Para pemrotes menuntut sistem yang lebih terbuka. Imbauan pemerintah untuk membubarkan diri tidak diindahkan. Hingga akhirnya massa yang menduduki Lapangan Tiananmen diberondong senapan, digilas tank, dan ratusan hingga ribu orang tewas.
Mereka yang terlibat dalam aksi itu ada yang bertahun-tahun dipenjara, ada pula yang diasingkan. Tapi dari aktivis-aktivis mahasiswa waktu itu ada yang sekarang justru berbalik menjadi orang-orang pragmatis dan oportunis. Semisal Xiao Jianhua yang kini menjadi milyuner Cina. Ia tinggal di Hongkong. Kerajaan bisnisnya membentang di sektor perbankan, asuransi, batubara, semen, properti, yang dikontrol oleh perusahaan induknya Tomorrow Group. Koneksi politiknya sangat kuat. Salah satu perusahaannya menginvestasikan USD 2,4 Juta di perusahaan investasi yang dikendalikan oleh ipar presiden Cina, Xi Jinping. Dia juga membantu perusahaan yang dikendalikan menantu Jia Qinglin, mantan anggota Politbiro Standing Committee.
Xiao Jianhua bersinar justru setelah diberangusnya aksi demo mahasiswa. Padahal, seperempat abad lalu, ia adalah pemimpin organisasi serikat mahasiswa resmi yang diakui pemerintah. Putra petani miskin kelahiran Feicheng, kawasan pertanian di pegunungan provinsi Shandong. Namun ia berseberangan dengan aktivis lainnya. Xiao tidak pernah menentang pemerintah, dan pasca-peristiwa Juni 1989 itu, namanya tidak masuk dalam daftar orang-orang paling dicari di Cina. Ternyata ia termasuk di antara orang-orang yang membujuk aktivis mahasiswa yang berseberangan dengannya untuk meredakan protes sebelum tentara Cina melakukan aksi pembubaran. Ia mendapatkan imbalan dengan jalan dukungan dana dari Peking University untuk melangkah ke dunia bisnis.
Ia merintis usaha memasok komputer hingga terkenal sebagai pemain saham papan atas yang menginvestasikan uangnya di mana-mana. Ia membangun reputasinya sebagai pebisnis yang punya koneksi politik kuat ke penguasa Cina, termasuk keluarga Presiden Xin Jinping. Ia begitu berhati-hati dan tidak ingin berisiko dengan angin politik yang berubah sewaktu-waktu. Beberapa tahun lalu ia dituding terlibat dalam privatisasi aset negara di bawah harga pasar. Lantas ia pindah ke Kanada dan memperoleh kewarganegaraan. Sekarang ia menghabiskan banyak waktunya di Hongkong, tinggal di Four Seasons Hotel, dan dikelilingi sejumlah bodyguard. Ia memiliki jet pribadi dan telah membeli properti bernilai jutaan di USA dan Kanada.
Aktivis bermental pragmatis dan oportunis adalah orang yang pandai menyelubungi dirinya dengan berbagai macam topeng. Ketika menjadi aktivis adalah semata untuk melindungi eksistensi dirinya, atau bahkan sengaja eksis agar mendapat pengakuan dari sesamanya dalam konteks situasi yang memang tidak ada jalan lain selain menjadi aktivis. Tapi begitu ada celah kesempatan untuk merengkuh kepentingan dan ambisi pribadi, maka ia segera menelikung dan menyeberang ke kubu yang menurutnya bisa menguntungkan dirinya. Tidak jauh berbeda dengan di Indonesia. Dari peristiwa ke peristiwa, gerakan pemuda/mahasiswa selalu memunculkan tokoh aktivis tulen dan aktivis oportunis. Sejarah selalu berulang. Era 45, 66 atau 98, aktivis mahasiswa dan tokoh-tokoh gerakan selalu melempem apabila sudah mendapat posisi yang nyaman.
Dulu angkatan 66 yang menumbangkan rezim orde lama, juga diam setelah mendapatkan berbagai posisi penting di era orde baru. Bahkan mendekat ke Cendana dan menjadi kroni-kroni Soeharto serta turut melanggengkan kekuasaannya. Hal itu sama terulang pada aktivis 98, ketika mereka duduk di parlemen, dibiayai rakyat, kecipratan dana proyek sana-sini apa mereka tetap bersuara lantang? Mereka juga menjadi bagian dari parpol yang tidak ada kerja nyata kepada masyarakat kecuali ketika menjelang pemilu. Tak heran bila parpol-parpol sekarang ini memang karakternya oportunis, koalisi tiada henti demi jatah kursi. Berkaca pada 1998. Ada banyak yang mendompleng reformasi untuk kepentingan sendiri. Setelah peristiwa itu, banyak orang yang berteriak, “Kamilah Sang Reformator.” So What!
Idealisme mati karena gelontoran uang. Ideologi tumbang karena tergiur kursi kekuasaan. Yang ada hanyalah berkembangnya sifat sebagai manusia oportunis dan pragmatis, sikap cari aman yang mereka perhalus dengan bahasa teknis strategis. Tidak ada ideologi politik apapun yang melekat pada diri mereka. Kenapa harus ideologi? Karena ideologi merupakan pedoman, landasan dari perjuangan yang dirintis seorang aktivis. Ideologi ini yang kemudian mengasah idealisme di dalam diri seseorang. Bagaimana seseorang mampu mempertahankan ideologi  yang dianut sehingga bisa menjadi barometer idealisme yang dimilikinya? Yang lebih sering terjadi adalah orang-orang yang telah menemukan ideologinya malah menghianati ideologi politik yang telah dipilihnya sendiri.
Dari hal tersebut kita bisa menelaah, pribadi-pribadi yang telah menganut suatu ideologi saja bisa menyimpang apalagi yang tidak memiliki ideologi politik. Tanpa ideologi, perjuangan seseorang seperti kapal yang terombang-ambing di tengah kerasnya arus lautan. Setelahnya, perjuangan itu menjadi sesuatu yang absurd. Orang-orang yang tidak memiliki ideologi seperti inilah yang seringkali dijadikan alat oleh elit politik dan kelompok kepentingan tertentu karena dia tidak memiliki haluan untuk bergerak. Dia tidak tahu akan dibawa ke mana bagian kekuasaan yang dimilikinya, sehingga cenderung digunakan untuk kepentingan diri sendiri dan juga dimanfaatkan oleh golongan tertentu.
Hanya sedikit di antara sekian banyak aktivis yang mengaku ideologis-idealis yang tetap memegan teguh apa yang diperjuangkannya dan rela menjalani hidup menentang derasnya godaan. Sementara para aktivis pragmatis-oportunis yang hanya terfokus pada kepentingan dirinya sendiri, justru merelakan dan bangga apabila karirnya berujung sebagai "budak" kantor/penguasa/pengusaha. Diam-diam, atau mungkin terang-terangan, mereka menunjukkan kegemaran berkubang di lumpur politik. Mereka menumpuk kekayaan agar bisa plesir ke luar negeri, demi menyekolahkan anak ke lembaga pendidikan berlabel internasional atau langsung ke negara lain sekalian, mendapatkan popularitas sebagai pesohor dan tokoh nasional, sering dipanggil sebagai nara sumber karena dianggap punya branding kualitas intelektual, tapi mereka hanya sekali lagi menjadi “budak”.
Sumber: http://www.siperubahan.com/read/932/Ketika-Aktivis-Bermental-Pragmatis-Oportunis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Review Jurnal Prinsip Kerja Grounding System (Penyalur Petir)

Review Jurnal  Prinsip Kerja Grounding System (Penyalur Petir) RIZKI RAMADHAN ABSTRAKSI Indonesia terletak di daerah tropis da...